>>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> >>>> CITRATV: REVOLUSI BUDAYA YANG TEREVOLUSI
Please use the above to Facebook Mini update your Facebook status

Friday, August 7, 2009

REVOLUSI BUDAYA YANG TEREVOLUSI

KRITIK BUAT PARA RAJA JAWA


Merah-PutihBagaimana memajukan negeri kita agar bisa setara dengan negeri-negeri lainnya seperti China dan Jepang yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia? Salah satu hal yang kami sepekati adalah diperlukan sebuah revolusi budaya di negeri kita. Kenapa harus budaya? Sebab intisari budaya adalah pola pikir, perilaku, kebiasaan yang sudah berakar urat dalam kurun waktu yang panjang. Pola pikir para anak bangsa yang cenderung tidak kreatif, tidak inovatif dan secara salah menafsirkan harapan hidup pada akhirnya melahirkan generasi yang tidak memahami sangkan paraning dumadi.

Inilah masa sekarang. Generasi yang dimanja oleh situasi yang memang membius mereka dalam kemudahan dan tidak mengenal proses perjuangan untuk merengkuh kebebasan. Pengembangan diri bersifat pragmatis dan materialistik yang hanya ditujukan untuk meraih prestasi dan melupakan pengembangan diri yang bertumpu pada budaya ke-Indonesiaan kita.

Siapa yang harusnya memulai untuk mengadakan gerakan REVOLUSI BUDAYA? Menurut hemat kami, yang harus mengawali adalah mereka yang selama ini hidup di sentra, kantong, dan EPISENTRUM BUDAYA. Siapa lagi kalau bukan PARA RAJA dan PARA KERABAT DAN SENTANA DALEM. Raja tidak hanya simbol, merekalah yang menggenggam RUH BUDAYA karena dari sanalah sesungguhnya dimulainya BUDAYA.

Terus terang, sekarang ini PARA RAJA JAWA (KHUSUSNYA RAJA DI KRATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, RAJA DI KRATON PURI PAKUALAMAN, RAJA DI KRATON MANGKUNEGARAN, RAJA DI KRATON KASUNANAN SURAKARTA) tidak mampu mampu lagi menempatkan dirinya dalam kancah perubahan budaya di masyarakat modern.

Mereka terpaku dan hanya jadi penonton perubahan budaya yang berlangsung cepat. Mereka tidak mampu menjadi PENGGERAK BUDAYA yang konon sangat adiluhung. Bagaimana bisa menjadi penggerak budaya bila hidup para raja semakin HEDONISTIK DAN FEODALISTIK?..

Para raja itu masih hidup tapi tidak memiliki semangat untuk menjadikan masyarakat yang berbudaya Jawa tersebut maju, berilmu tinggi dan mampu mengolah rasa/dzikir dan pikir mereka sehingga menjadikan budaya sebagai basis pengembangan diri. Masyarakat yang kehilangan JATI DIRI BUDAYA tempat dimana dulu mereka dilahirkan akan tumbuh sebagai masyarakat yang anti peradaban dan cenderung hanya menyerap peradaban modern tanpa disaring.

Budaya membaca, menulis, mengolah diri menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan sesuai dengan jati diri bangsa kian lama kian hilang. Padahal di dalam khasanah budaya Jawa kita mengenal kearifan lokal bagaimana hidup di tengah perubahan yang cepat.

Kami telah berusaha keras untuk mendapatkan berbagai kitab-kitab Jawa kuno baik berupa manuskrip, fotocopy, atau buku aslinya tapi itu lebih banyak kami dapat dari buku-buku yang dijual di pinggir Jalan. Sementara buku-buku Jawa yang ada di Kraton yang kami yakini masih bertumpuk di gudang-gudang semakin dimakan kutu buku dan rayap.

Keraton – sejauh kami tahu – tidak memiliki niat untuk membuka akses buku-buku babon dari para pujangga Jawa. Para Raja, Para Kerabat dan Para Sentono Dalem tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk MBEBER KAWICAKSANAN dan selama ini lebih cenderung untuk HANYA MENYIMPAN DALAM GUDANG SAJA.

Inikah FUNGSI KRATON SEBAGAI SARANA UNTUK NGURI-URI KEBUDAYAAN JAWA YANG ADILUHUNG ITU? Bila Kraton dan juga para Raja menyadari fungsinya sebagai penggerak dan pelumas bergeraknya budaya, harusnya mereka membuka akses kepada masyarakat seluas-luasnya untuk mendapatkan informasi termasuk juga mendapatkan KUNCI MASUK KE PERPUSTAKAAN KRATON.

Menyimpan buku-buku / naskah-naskah kuno dan menganggapnya sebagai JIMAT adalah sangat bertentangan dengan semangat membangun bangsa. Sebab membangun bangsa diperlukan gotong royong yang erat berdasarkan profesi dan kompetensinya masing-masing. Bila budayawan Jawa saja kesulitan untuk mendapatkan akses ke kraton, mana bisa mereka mengetahui nilai-nilai budaya Jawa jaman dahulu bila tidak dari buku-buku kuno?

BUDAYA bukanlah hanya HASIL, sebagaimana candi-candi, rumah-rumah adat, kitab-kitab kuno, adat istiadat, benda-benda seni dan lainnya. Budaya adalah sebuah PROSES yang terjadi di masyarakat yang harus terus BERINOVASI dan memiliki ENERGI KREATIF yang besar untuk memajukan kemanusiaaan yang lebih manusiawi, yang memiliki rasa kebertuhanan yang lanjut dan hingga sampai kesimpulan penghayatan hidup.

Untuk mengetahui HAKIKAT BUDAYA, kita memerlukan sebuah proses MEMBACA DAN MENULIS. Baik membaca KITAB YANG TERTULIS, maupun membaca dalam arti yang luas yaitu MEMBACA KITAB TIDAK TERTULIS, yaitu ALAM SEMESTA beserta ciptaanNya. Sementara MENULIS berarti mengadakan PERENUNGAN dan MENGOLAH DENGAN AKAL PIKIR hingga kemudian berlanjut ke tahap MELAKUKAN DALAM PERILAKUNYA SENDIRI-SENDIRI.

Sebagai bagian dari semangat untuk NGANGSU KAWRUH itulah maka, sudah pada tempatnya bila PARA RAJA DI RAJA JAWA (KHUSUSNYA RAJA DI KRATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, RAJA DI KRATON PURI PAKUALAMAN, RAJA DI KRATON MANGKUNEGARAN, RAJA DI KRATON KASUNANAN SURAKARTA) membuka akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk MEMPELAJARI kitab-kitab kuno yang hingga saat ini tersimpan erat dalam gudang-gudang mereka.

Demikian uneg-uneg dari kami, semoga para RAJA JAWA menyadari kepelitannya selama ini. Mohon maaf bila tidak berkenan dan MONGGO KEPADA REKAN-REKAN YANG SEGARIS PERJUANGAN UNTUK BERGABUNG DENGAN KAMI DALAM GERAKAN REVOLUSI BUDAYA JAWA INI.

No comments:

Post a Comment

Design by : CITRA TV